LULO SEBAGAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA TOLAKI
Sulawesi
Tenggara dihuni oleh beberapa etnis, diantaranya suku Tolaki, Moronene, Buton,
Muna, dan Wawonii. Setiap suku ini memiliki perbedaan bentuk tari. Salah satu
tari yang identik dengan daerah Sulawesi Tenggara adalah Molulo atau Tari Lulo.
Tari Lulo merupakan salah satu bentuk tari yang berasal dari suku Tolaki. Suku
yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara, yakni Kota Kendari, Kabupaten
Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara,
kabupaten Kolaka Timur, dan Kabupaten Konawe Kepulauan.
Kata
Lulo secara etimologi berasal dari bahasa Tolaki, molulowi yang berarti menginjak-injak yaitu sesuatu pekerjaan
memisahkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Molulowi juga berarti pekerjaan menginjak-injak padi (wine), sehingga muncul kata Lulo. Lulo
berasal dari kata molulo yang terdiri
dari awalan mo dan kata dasar lulo. Awalam mo berarti melakukan suatu pekerjaan dengan berulang-ulang,
sehingga molulo berarti melaksanakan
tari lulo.
Tarian
Lulo pertama muncul dan dikenal pada masyarakat Tolaki di Konawe, pada masa
kerajaan Padangguni sekitar abad ke-9. Pada masa tersebut masyarakat Tolaki
menganut kepercayaan animism dan dinamisme. Lahirnya tarian Lulo yang awalnya
merupakan tarian ritual, erat hubungannya dengan aktivitas pertanian. Dahulu,
nenek moyang masyarakat Tolaki mempunyai kebiasaan membuka lading sebagai lahan
pertanian. Sebelum membuka lading tempat menanam padi, dilakukan upacara ritual
yang disebut dengan mosehe ndau (upacara penyucian lahan
pertanian). Pelaksanaan mosehe ndau dilakukan di tengah lading
pada saat dimulainya menanam padi. Untuk keperluan upacara, dibuat semacam
barak atau warungga. Sekitar barak
tersebut juga dibuat barak-barak kecil yang berfungsi sebagai tempat orang
menyaksikan jalannya upacara. Pemimpin dalam upacara ini disebut mbuakoi/mbusehe (dukun), dengan menggambil posisi didekat lubang tugalan
sebagai tempat dimulainya menanam padi. Setelah pelaksanaan mosehe ndau, sang dukun memukul gendang (totabua)dengan irama khusus dengan tujuan agar dewa mendengarkan
permintaanya. Pada saat gendang dipukul, peserta ritual yang terdiri dari
petani serentak berdiri membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan, dan
melakukan gerakan sesuai dengan irama bunyi gendang. Gerakan-gerakan yang
dilakukan tersebut kemudian melahirkan bentuk tari Lulo Sangia (tari permohonan kepada dewa).
Tari
Lulo Sangia dalam ritual mosehe ndau berfungsi sebagai permohonan
ampun kepada Sangia (dewa) atas
segala tindakan dan perilaku kurang baik yang pernah dilakukan oleh masyaraka
Tolaki. Pada proses selanjutnya, apabila panen berhasil dilaksanakan pula
ritual upacara monahu ndau (pesta
tahunan). Pelaksanaan upacara monahu ndau
dipimpin oleh mbuakoi/mbusehe. Pelaksanaan upacara tersebut
untuk menghormati dan menghaturkan rasa syukur kepada dewi padi atau Sanggoleo Mbae atas panen yang melimpah. Untuk
menghormatinya, maka warga setempat menggelar ritual monahu ndau. Pesertayang ikut dalam upacara tersebut terdiri dari
para petani dan muda mudi. Upacara ini dilaksanakan selama tiga hari tiga
malam, yakni pada hri ke 14, 15 dan 16 bulan di langit. Setelah upacara ini
dilaksanakan, maka peserta yang hadir berdiri melingkar sambil mengikuti alunan
gendang (totabua o kanda). Gerakan melingkar pada upacara monahu ndau ini kemudian disebut dengan tari Lulo Ngganda.
Tarian
Lulo bukan hanya merupakan sebuah kreativitas dan aktivitas seni, tapi lebih
dari itu. Tari Lulo juga merupakan sebuah gerakan simbolis yang mengandung
makna filosofis. Secara umum, tari Lulo merupakan perwujudan pandangan dan
falsafah hidup masyarakat Tolaki yang menganut prinsip-prinsip kesatuan hidup
bersama atau gotong royong (meduu-dulu),
senantiasa taat dan patuh pada pemimpin, bersikap sopan pada orang lain, dan
saling menghormati. Dalam tarian Lulo, terdapat tiga unsur penting yang
bersifat simbolis dan mengandung makna filosofis : 1) Terbentuknya lingkaran
orang-orang yang mengelilingi sumber bunyi, sebagai lambang personifikasi makna
simbolis dari kalo yang befungsi
sebagai fokus kebudayaan dan landasan adat (o
sara) masyarakat Tolaki dalam kesatuan hidupnya. 2) Terbentuknya gandengan
tangan, menggambarkan sistem keterkaitan dan kesatuan masyarakat yang secara
bersama-sama terkait dalam aturan adat (o
sara), dan 3) Terjadinya perputaran yang searah dan teratur, mengandung
makna bahwa aturan adat (o sara)
senantiasa akan berjalan atau berlaku terus-menerus untuk mengatur kehidupan
bersama.
Sebagai sebuah seni pertunjukkan, tari Lulo
terdiri atas unsur musik dan tari, memiliki formulasi aturan dalam
pelaksanaannya, yakni : sebagai tari pergaulan yang ditampilkan secara massal
oleh semua elemen dan golongan dalam masyarakat; laki-laki dan perempuan, tua
dan muda, dewasa dan kanak-kanak, tokoh masyarakat dan rakyat jelata, orang
kaya dan orang miskin, yang diiringi dengan bunyi gong. Pelaksanaan tari Lulo
biasanya pada waktu malam hari. Cara melakukannya adalah bergandengan tangan
dengan sesama penari dan digerakkan naik turun, dimana tangan laki-laki berada
dibawa tangan perempuan, mengelilingi gong yang dibunyikan, membentuk
lingkaran, sementara kaki diayun melangkah dua kali ke kiri kemudian kembali
melangkah tiga kali ke kanan, dilanjutkan dengan gerakan kaki ke depan dan ke
belakang, dan begitu seterusnya. Muka dan pandangan lurus kedepan ke titik
tengah lingkaran dimana gong digantung pada tiang tengah rumah, yang
sewaktu-waktu menolehke kiri dan kanan; semua gerakan baik tangan dan kaki
selalu disesuaikan dengan irama bunyi gong.
Beberapa hal yang perlu diketahui oleh
seseorang ketika hendak masuk dalam barisan penari untuk ikut serta menari
adalah bahwa ia masuk melalui depan dan bukan dari belakang. Di antara penari
mana ia hrus masuk dan menggandengkan tangannya ialah di antara dua penari yang
sejenis apakah laki-laki atau perempuan, dan tidak boleh berlaku sebaliknya.
Untuk berhenti dari menari, seseorangsebaiknya telah menari paling kurang satu
kali putaran, dan harus pula berpamitan dengan penari yang bergandengan tangan
dengannya (Tarimana, 1989:258-259).
Sebagai
identitas Sulawesi Tenggara tari Lulo ini dapat dipertunjukkan hamper pada
setiap acara resmi maupun tidak resmi, seperti perkawinan, pesta rakyat atau
adat, acara peringatan, acara resmi masyarakat maupun pemerintah tari Lulo
ditampilkan sebagai hiburan, pertunjukan, dan perlombaan. Tari Lulo ini bukan
hanya diminati dan disukai oleh komunitas suku Tolaki, tetapi juga oleh suku
lain yang berada di bumi Anoa ini seperti Buton, Muna, Bugis, Jawa dan
etnis-etnis lainnya yang sudah menjadi penduduk daerah ini.
Pada
era modern sekarang ini tari Lulo masih terus dipertahankan dan dilestarikan
oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada penggunaan tarian Lulo pada berbagai
kegiatan dan acara baik sebagai hiburan maupun pertunjukan pada acara formal
maupun non formal. Dalam perkembangan tersebut, para seniman termasuk
masyarakat pendukungnya juga seering menambahkan beberapa variasi, baik dari
segi gerakan maupun music agar lebih manarik. Hal ini tentu dilkukan sebagai
usaha melestarikan tradisi dan budaya, agar tidak tenggelam seiring dengan
zaman yang semakin modern ini.
Nilai-Nilai Dalam Tari Lulo
Tari
Lulo memuat nilai-nilai yang melekatdalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Nilai-nilai yang ada hubungannya dengan aturan pergaulan baik dalam pergaulan
di lingkingan keluarga, pendidikan, kemasyarakatan, maupun yang berhubungan
dengan adat istiadat.
Berdasarkan
fungsinya, nilai-nilai yang berada pada tari Lulo dapat dibagi menjadi dua,
yaitu nilai yang berfungsi sebagai nasehat atau anjuran dan nilainyang
berfungsi sebagai larangan atau pantangan. Tari Lulo mengandung sejumlah
nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman dalam berbuat dan bertingkah laku pada
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1. Nilai
Tradisi
Adapun
nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam tari Lulo adalah:
a.
Para penari bergandengan tangan dan membentuk
lingkaran.
b.
Tangan wanita berada diatas tangan pria.
c.
Penari boleh bersama-sama pria atau
bersama-sama wanita.
d.
Setiap penonton yang akan masuk menari harus masuk di tengah-tengah lingkaran,
kemudian masuk dari arah depan penari secara hormat. Tidak diperbolehkan masuk
dari belakang penari kecuali bila penonton akan masuk di antara penari sesame
jenis.
e.
Penari yang akan meninggalkan permainan
diwajibkan mundur ke belakang setelah satu putaran tari Lulo serta meminta izin
dari penari-penari yang mengapitnya.
f. Jika semua peserta wanita sudah diapit oleh penari-penari pria, kemudian ada penonton yang ingin masuk menari, ia harus mengambil tempat di samping kanan pria atau di sebelah kiri wanita.
g.
Apabial penonton yang masuk menari secara kebetulan tidak berkenaan dihati
penari yang akan mengapitnya, maka dilarang untuk meninggalkan tempat pada saat
itu juga. Untuk yang baru masuk, maka penari yang lebih awal masuk harus
melanjutkan tariannya minimal satu kali putaran dan setelah itu meminta izin
untuk meninggalkan permainan.
h.
Sebaliknya, seorang penari yang baru saja keluar dari barisan penari, tidak
diperbolehkan langsung masuk di tempat lain sebab dapat menyinggung perasaan
penari yang ditinggalkan.
Komentar
Posting Komentar